Jumat, 20 Juni 2025

Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit

Unduh sejarah lengkap kerajaan Majapahit disini!

Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan yang paling besar dan kuat dalam sejarah Nusantara, dengan pusat di Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini ada dari tahun 1293 hingga sekitar 1527, dan dikenal sebagai kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Nusantara yang mencapai keemasan yang luar biasa.

 

Di bawah ini adalah sejarah lengkap mengenai Kerajaan Majapahit:

 

1. Awal Mula Majapahit (1293 M)

 

Latar Belakang: Awal mula Majapahit terkait dengan jatuhnya Kerajaan Singasari pada tahun 1292 akibat pemberontakan Jayakatwang, adipati Kediri. Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara (raja terakhir Singasari), berhasil melarikan diri dan meminta bantuan dari Arya Wiraraja, Adipati Sumenep (Madura).

Pembukaan Hutan Tarik: Atas saran Arya Wiraraja, Raden Wijaya meminta Jayakatwang untuk membuka hutan Tarik di daerah Trowulan sebagai lokasi berburu. Izin ini diberikan, dan hutan itu kemudian dijadikan desa yang dinamai Majapahit. Nama "Majapahit" diambil dari buah maja yang banyak tumbuh di sekitaran, meski rasanya pahit.

Strategi Raden Wijaya: Ketika tentara Mongol dari Dinasti Yuan (Tiongkok) yang diutus oleh Kubilai Khan tiba di Jawa untuk menghukum Kertanegara, Raden Wijaya memanfaatkan keadaan tersebut. Ia menjalin aliansi dengan tentara Mongol untuk menyerang Jayakatwang dan berhasil mengalahkan Kediri.

Pengkhianatan Raden Wijaya: Setelah kemenangan atas Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik mengejutkan pasukan Mongol yang sudah lelah dan berhasil mengusir mereka dari Jawa. Keberhasilan ini menjadikan Raden Wijaya sebagai pemimpin di wilayah Jawa.

Penobatan Raden Wijaya: Pada tanggal 10 November 1293, Raden Wijaya diangkat sebagai raja pertama Kerajaan Majapahit dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

 

2. Raja-Raja Awal dan Tantangan (1293 - 1350 M)

 

Raden Wijaya (1293-1309 M): Sebagai pendiri kerajaan, Raden Wijaya menetapkan fondasi-fondasi penting. Namun, pemerintahannya juga mengalami beberapa pemberontakan, termasuk pemberontakan Ranggalawe.

Jayanegara (1309-1328 M): Putra Raden Wijaya ini menghadapi banyak tantangan dari pemberontakan yang menguji kekuatan Majapahit, salah satunya adalah pemberontakan Ra Kuti. Jayanegara meninggal dunia tanpa meninggalkan pewaris.

Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M): Adik Jayanegara, yaitu Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, mengambil alih tahta. Selama masa pemerintahannya, ia menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih. Di sinilah Gajah Mada mengucapkan "Sumpah Palapa," yang merupakan tekad untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah pemerintahan Majapahit. Di bawah kepemimpinan Tribhuwana dan Gajah Mada, berbagai pemberontakan dapat ditekan dan wilayah Majapahit mulai diperluas.

 

3. Masa Keemasan (1350-1389 M): Hayam Wuruk dan Gajah Mada

 

Hayam Wuruk (1350-1389 M): Cucu dari Raden Wijaya, Hayam Wuruk, naik tahta di usia muda. Era kepemimpinannya bersama Mahapatih Gajah Mada menandai puncak kejayaan Kerajaan Majapahit.

Sumpah Palapa dan Ekspansi Wilayah: Gajah Mada dengan semangat tinggi menjalankan Sumpah Palapa. Di bawah kepemimpinan mereka, Majapahit berhasil menguasai wilayah yang sangat luas, yang mencakup hampir seluruh Nusantara, mulai dari Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, hingga sebagian Papua dan Filipina. Kitab Negarakertagama dan Pararaton menjadi sumber utama yang menggambarkan kemegahan kawasan ini.

Kemakmuran dan Kebudayaan: Majapahit berkembang sebagai pusat bagi perdagangan, seni, sastra, dan budaya yang maju. Jalur perdagangan laut dikuasai, dan komoditas seperti lada, garam, dan lengkeng menjadi komoditas utama. Seni tari, seni lukis, seni ukir, serta arsitektur tumbuh dengan pesat. Toleransi antaragama (Hindu dan Buddha) juga sangat terlihat.

Warisan: Banyak situs candi, prasasti, dan karya sastra menjadi tanda kemegahan Majapahit. Contohnya adalah Candi Penataran, Candi Tikus, serta Kitab Negarakertagama (ciptaan Mpu Prapanca) dan Sutasoma (ciptaan Mpu Tantular) dengan motto "Bhinneka Tunggal Ika".

 

4. Masa Penurunan dan Keruntuhan (Setelah 1389 M)

 

Kehilangan Pemimpin Penting: Setelah kematian Gajah Mada (sekitar 1364 M) dan Hayam Wuruk (1389 M), Majapahit mulai mengalami kemunduran. Pemimpin yang ada tidak ada yang sekuat dan sehandal mereka dalam mengelola kerajaan yang luas ini.

Perang Paregreg (1404-1406 M): Pertarungan untuk merebut tahta antara Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Bhre Wirabhumi (anak Hayam Wuruk dari selir) menyebabkan konflik internal yang melemahkan Majapahit dan menguras sumber daya yang ada.

Pemberontakan dan Hilangnya Wilayah: Banyak daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan mulai mencoba untuk merdeka dari Majapahit.

Pertumbuhan Islam: Peningkatan pengaruh agama Islam di Jawa melalui kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak juga merupakan alasan eksternal yang membuat Majapahit semakin lemah.

Wabah dan Krisis Internal: Beberapa catatan menyebutkan adanya kelaparan dan masalah internal lain yang semakin memperburuk keadaan kerajaan.

Serangan dari Demak: Kerajaan Majapahit akhirnya runtuh pada 1527 M saat diserang oleh pasukan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Setelah itu, wilayah Majapahit jatuh ke Demak, yang menandai berakhirnya era kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.

Walaupun Majapahit telah hancur, warisan budayanya, nilai persatuan (Bhinneka Tunggal Ika), dan peninggalan arkeologinya tetap menjadi bagian penting dalam sejarah dan identitas bangsa Indonesia. Penelitian dan penemuan baru terus dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang kerajaan megah ini.

 

5. Sistem Pemerintahan Majapahit

 

Pemerintahan Majapahit terstruktur dengan baik dan termasuk yang tercanggih pada zamannya.

Konsep Dewaraja: Raja dipandang sebagai wujud dewa di dunia, memberikan dasar ilahi kepada kekuasaannya. Raja memiliki kekuasaan tertinggi di semua bidang, termasuk pemerintahan, militer, dan agama.

Struktur Hierarkis:

Raja (Maharaja): Pemimpin utama kerajaan.

Raja Muda (Yuwaraja): Biasanya adalah putra mahkota atau anggota dekat keluarga raja yang disiapkan untuk menggantikan.

Bhatara Saptaprabhu: Dewan penasehat kerajaan yang terdiri dari kerabat raja, berperan sebagai penasihat.

Mahapatih: Pejabat utama setelah raja, yang mengelola administrasi dan kegiatan pemerintahan sehari-hari. Gajah Mada adalah contoh terkenal.

Dharmmadhyaksa: Pejabat yang menangani urusan keagamaan, terbagi menjadi dua:

Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan: Mengurus agama Siwa (Hindu).

Dharmmadhyaksa ring Kasogatan: Mengurus agama Buddha.

Rakryan: Pejabat tinggi kerajaan dengan berbagai tanggung jawab, seperti:

Rakryan Mapatih: Mahapatih.

Rakryan Demung: Mengelola rumah tangga kerajaan.

Rakryan Kanuruhan: Jembatan antara raja dan rakyat.

Rakryan Rangga: Mengatur urusan militer.

Bupati: Kepala daerah yang bertanggung jawab atas bagian tertentu dalam kerajaan.

Pembagian Wilayah: Majapahit membagi daerahnya menjadi 14 wilayah bawah (seperti Daha, Kahuripan, Tumapel, Wengker, dan lainnya), yang kemudian dibagi lagi menjadi kabupaten, kawadanan, pakuwuan, dan kebuyutan (daerah kecil dan kampung). Sistem ini mencerminkan prinsip desentralisasi teritorial dengan birokrasi yang mendetail.

 

6. Kehidupan Ekonomi Majapahit

 

Ekonomi Majapahit mengalami pertumbuhan signifikan akibat perpaduan antara sektor pertanian dan maritim.

Sektor Agraris: Pertanian menjadi pilar ekonomi, dengan padi sebagai barang paling utama. Sistem irigasi yang canggih menghasilkan panen yang melimpah.

Sektor Maritim dan Perdagangan: Majapahit menguasai jalur perdagangan laut di kepulauan. Pelabuhan di pantai utara Jawa, seperti Canggu dan Surabaya, menjadi pusat kegiatan perdagangan. Barang yang diperdagangkan mencakup rempah-rempah, beras, garam, lada, lengkeng, dan hasil hutan.

Hubungan Dagang Internasional: Majapahit menjalin hubungan dagang yang kuat dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara (seperti Champa) dan negara lain seperti Tiongkok dan India. Ini memperkaya perdagangan mereka dengan berbagai barang impor dan ekspor.

Pajak: Pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan utama kerajaan, yang digunakan untuk membiayai pemerintahan, militer, dan pembangunan.

 

7. Kehidupan Sosial dan Budaya

 

Masyarakat Majapahit memiliki kehidupan sosial dan budaya yang kaya dan bersifat toleran.

Struktur Sosial: Majapahit mengikuti sistem kasta Hindu (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra), meskipun penerapannya tidak seketat di India. Dalam kehidupan istana terdapat hierarki jelas, sementara masyarakat biasa sebagian besar terdiri dari petani, pedagang, atau pengrajin.

Toleransi Beragama: Salah satu ciri khas Majapahit adalah sikap toleran terhadap berbagai agama, terutama Hindu dan Buddha. Hal ini tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang berasal dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.

Seni dan Sastra: Majapahit mencapai puncak dalam seni dan sastra.

Karya Sastra: Terdapat buku penting seperti Negarakertagama (Mpu Prapanca) yang merekam sejarah dan kekuasaan Majapahit, serta Sutasoma (Mpu Tantular) yang mengajarkan nilai-nilai toleransi beragama.

Seni Arsitektur: Pembangunan candi-candi dan gapura dengan ukiran detail yang menggambarkan alam, fauna (seperti naga dan burung), serta adegan-adegan mitologi.

Seni Ukir dan Kerajinan: Seni ukir menunjukkan karakteristik unik dan mendetail. Ditemukan pula beragam kerajinan keramik, logam, dan tanah liat.

 

8. Hubungan Luar Negeri

Majapahit memiliki kebijakan luar negeri yang sangat baik, dikenal dengan istilah Mitreka Satata, yang mengartikan "setara" atau "sejajar. "

Persahabatan dan Perlindungan: Melalui Mitreka Satata, Majapahit membangun ikatan persahabatan yang kuat dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, seperti Syangka (Thailand), Dharmanagari (Kedah), Marutma, Campa, Kambonyanyat (Kamboja), dan Yawana (Annam). Kerajaan-kerajaan ini menerima perlindungan dari Majapahit dan sebagai imbalannya memberikan upeti.

Hubungan dengan Tiongkok: Majapahit memiliki hubungan perdagangan dan diplomatik yang dekat dengan Dinasti Yuan (dan kemudian dinasti Ming) di Tiongkok. Banyak catatan Tiongkok yang mencatat interaksi ini, yang membantu pertumbuhan ekonomi Majapahit.

Pernikahan Politik: Kadang-kadang, pernikahan antara anggota keluarga kerajaan Majapahit dan penguasa atau bangsawan dari negara lain juga dipakai untuk memperkuat ikatan politik dan sosial.

 

9. Peninggalan Kerajaan Majapahit

 

Banyak peninggalan Majapahit yang menunjukkan kemajuan dan kemegahannya.

Candi dan Bangunan:

Candi Penataran: Ini adalah kompleks candi terbesar di Jawa Timur.

Candi Tikus: Dipercaya sebagai petirtaan atau tempat mandi.

Candi Brahu: Diduga digunakan untuk kremasi raja-raja Majapahit.

Candi Surawana:

Candi Rimbi:

Candi Sukuh: Dikenal karena bentuknya yang menyerupai piramida.

Gapura Wringin Lawang: Gerbang besar yang diyakini sebagai pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Gapura Bajang Ratu: Gerbang indah ini berfungsi sebagai akses ke bangunan suci.

Prasasti:

Prasasti Kudadu: Mengisahkan pengalaman Raden Wijaya sebelum ia menjadi raja.

Prasasti Waringin Pitu: Memberikan gambaran mengenai pemerintahan dan birokrasi Majapahit.

Prasasti Prapancasarapura:

Kitab dan Karya Sastra:

Kitab Negarakertagama: Karya Mpu Prapanca, berisi detail tentang Majapahit pada masa Hayam Wuruk.

Kitab Sutasoma: Karya Mpu Tantular yang mengandung kisah yang melahirkan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika. "

Kitab Pararaton: Menceritakan silsilah Raja-raja Singasari dan Majapahit.

Kitab Arjunawijaya, Kunjarakarna, dan Sudamala: Karya sastra lainnya.

Majapahit merupakan salah satu puncak dari peradaban di Nusantara, meninggalkan jejak yang tidak akan pudar dalam sejarah dan budaya Indonesia. Peninggalan-peninggalan ini tetap menjadi subjek studi dan kekaguman hingga saat ini.

Kamis, 19 Juni 2025

Sejarah Kerajaan Kediri

 Kerajaan Kediri, yang sering disebut juga sebagai Panjalu, merupakan salah satu kerajaan besar yang menganut ajaran Hindu-Buddha dan berada di Jawa Timur, berdiri antara tahun 1042 M dan 1222 M. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, hasil pembagian oleh Raja Airlangga. Lokasi pusat pemerintahannya terletak di kota Daha, yang saat ini berada di sekitar daerah Kota Kediri, Jawa Timur.

 

I. Awal Mula dan Pembentukan Kerajaan

Cerita mengenai Kerajaan Kediri tidak bisa lepas dari sosok Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kamulan, yang kemudian dikenal sebagai Kahuripan. Ketika masa pemerintahannya hampir berakhir, Airlangga dihadapkan pada masalah suksesi. Ia memiliki dua putra dari dua ibu berbeda yang saling berebut untuk mengambil alih tahta:

Jenggala: Dikenal sebagai wilayah yang diberikan kepada Mapanji Garasakan, dengan pusat berlokasi di Kahuripan.

Panjalu (Kediri): Diberikan kepada Sri Samarawijaya, yang memiliki pusat di Daha.

Pembagian kerajaan ini terjadi pada tahun 1042 M, agar dapat menghindari terjadinya perang saudara. Kejadian pemisahan ini tercatat dalam prasasti yang bernama Prasasti Terep (1032 Saka/1110 Masehi) dari zaman Kerajaan Kediri. Namun, upaya untuk mencegah konflik yang dilakukan oleh Airlangga tidak sepenuhnya berhasil.

 

II. Permulaan dan Konflik Saudara

Setelah pemisahan, terjadi persaingan yang berkelanjutan antara Jenggala dan Panjalu (Kediri). Pada masa ini, kedua kerajaan saling bertarung untuk mendapatkan dominasi satu sama lain.

Raja Pertama Kediri (Panjalu): Sri Samarawijaya (1042-1051 M). Banyak catatan prasasti dari masa pemerintahannya minim, dan ada yang menyebutkan sebagai "masa kegelapan" karena kurangnya bukti.

Pertikaian Tanpa Henti: Konflik antara Panjalu dan Jenggala berlangsung selama beberapa dekade. Prasasti Banjaran (1052 M) mencatat hasil kemenangan Panjalu atas Jenggala di bawah pemerintahan Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes, raja kedua Kediri.

Persatuan Kembali: Persaingan ini berakhir saat pemerintahan Sri Bameswara (1117-1135 M), yang mana Kediri berhasil menyatukan kembali sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Airlangga setelah mengalahkan Jenggala.

 

III. Masa Keemasan di Bawah Raja Jayabaya

Kerajaan Kediri mengalami kejayaan tertingginya pada masa pemerintahann Sri Jayabaya (1135-1159 M). Ia dikenal sebagai raja tersohor dalam sejarah Jawa.

Kemenangan Terhadap Jenggala: Jayabaya sukses mengakhiri konflik dengan Jenggala dan memperkuat posisi Kediri di Jawa Timur. Kemenangan ini dituangkan dalam Kakawin Bharatayudha, sebuah epik besar karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh selama masa pemerintahannya. Karya ini mengadaptasi kisah Mahabharata dengan latar belakang pertempuran antara Jenggala dan Kediri.

Ekspansi Wilayah Kekuasaan: Di bawah Jayabaya, daerah kekuasaan Kediri meluas hingga ke sebagian Kalimantan dan bahkan mengejarsampai ke Kerajaan Ternate di Maluku, menunjukkan kekuatan maritim yang besar.

Sistem Administrasi dan Hukum yang Baik: Jayabaya dikenal sebagai pemimpin yang bijak, menerapkan tata kelola yang teratur serta hukum yang adil. Hal ini memberikan kontribusi kepada kesejahteraan dan stabilitas kerajaan.

Perkembangan Sastra yang Pesat: Masa pemerintahan Jayabaya adalah zaman keemasan bagi sastra di Kediri. Selain Kakawin Bharatayudha, karya sastra lain yang dikenal antara lain Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh.

Ramalan Jangka Jayabaya: Jayabaya juga terkenal dengan ramalannya mengenai masa depan Nusantara yang dikenal dengan Jangka Jayabaya. Ramalan ini masih tetap populer dan diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa hingga sekarang.

Bukti dari Catatan Asing: Karya Chou Ku-fei yang ditulis pada tahun 1178 M mengidentifikasi Kediri sebagai daerah yang makmur. Warganya dikenal memakai pakaian sutra, sepatu kulit, serta perhiasan emas, dan raja mereka dihormati.

 

IV. Raja-Raja Setelah Jayabaya Hingga Keruntuhan

Setelah masa Jayabaya, Kediri dipimpin oleh sejumlah raja yang berusaha untuk menjaga kejayaan, tetapi pada akhirnya mengalami kemunduran.

Sri Sarweswara (1159-1169 M)

Sri Aryeswara (1169-1180 M)

Sri Gandra (1180-1182 M)

Sri Kameswara (1182-1194 M): Selama pemerintahannya, karya sastra terus berkembang, termasuk karya Kitab Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang menggambarkan kisah cinta antara Dewa Kama dan Dewi Rati. Buku ini menjadi fondasi untuk cerita Panji yang terkenal.

Sri Kertajaya (1194-1222 M): Merupakan raja terakhir dari Kediri.

 

V. Keruntuhan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri jatuh pada pemerintahan Raja Kertajaya pada tahun 1222 M. Penyebab utama keruntuhan ini adalah konflik internal yang memuncak dan dieksploitasi oleh kekuatan luar.

Konflik dengan Kaum Brahmana: Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana dan juga ingin diakui sebagai dewa. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan dan perlawanan dari Brahmana yang merasa direndahkan.

Permohonan Bantuan kepada Ken Arok: Brahmana akhirnya mencari perlindungan serta bantuan dari Ken Arok, akuwu Tumapel yang merupakan wilayah bawah Kediri. Ken Arok melihat ini sebagai peluang untuk membebaskan diri dari Kediri dan membangun kerajaan sendiri.

Pertempuran Ganter (1222 M): Ken Arok menyerang Kediri dengan dukungan Brahmana dan pasukannya. Pertempuran hebat terjadi di Ganter, di mana Ken Arok keluar sebagai pemenang. Raja Kertajaya menemui ajalnya dalam pertempuran tersebut.

Berdirinya Singasari: Kemenangan Ken Arok di Ganter menandakan akhir dari Kerajaan Kediri dan awal berdirinya Kerajaan Singasari di bawah pimpinan Ken Arok. Jayasabha, putra Kertajaya, diangkat sebagai bupati Kediri yang bernaung di bawah Singasari.

 

VI. Peninggalan Sejarah

Kerajaan Kediri meninggalkan banyak warisan berharga, terutama prasasti dan karya sastra:

Prasasti:

Prasasti Sirah Keting (1104 M): Menceritakan tentang Raja Jayawarsa yang memberikan tanah kepada rakyatnya.

Prasasti Ngantang (1135 M): Berisi keputusan Raja Jayabaya tentang pembebasan pajak tanah untuk Desa Ngantang sebagai bentuk penghargaan.

Prasasti Jaring (1181 M): Mengandung informasi tentang Raja Gandra dan nama-nama pejabat yang memiliki gelar berdasarkan nama hewan.

Prasasti Kamulan (1194 M): Menceritakan serangan dari arah timur (Singasari) serta menunjukkan adanya wilayah Trenggalek.

Prasasti Talan (1136 M): Mengenai anugerah sima yang diberikan kepada Desa Talan oleh Raja Jayabaya.

Karya Sastra:

Kakawin Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh): Mengisahkan tentang konflik antara Jenggala dan Panjalu (Kediri).

Kakawin Hariwangsa (Mpu Panuluh): Menggambarkan kisah Krisna beserta Rukmini.

Kakawin Gatotkacasraya (Mpu Panuluh): Menceritakan kisah Gatotkaca.

Kitab Smaradahana (Mpu Dharmaja): Berkisar pada cinta Dewa Kama dan Dewi Rati.

Kitab Lubdaka (Mpu Tanakung): Mengisahkan pemburu bernama Lubdaka.

Candi (Reruntuhan): Terdapat beberapa candi yang diduga berasal dari periode Kediri, seperti Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan Candi Dorok, meskipun banyak di antaranya sudah tidak utuh.

 

Kerajaan Kediri menjadi simbol kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Jawa Timur, dengan warisannya dalam pemerintahan, hukum, dan yang lebih penting lagi, dalam sastra, tetap relevan dalam studi sejarah dan budaya Indonesia.

Tentu, mari kita eksplor lebih lanjut beberapa elemen penting lainnya dari Kerajaan Kediri, memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang peradaban yang pernah terkenal di Jawa Timur ini.

 

Aspek Lain tentang Kerajaan Kediri

1. Kehidupan Sosial dan Struktur Masyarakat

Masyarakat di Kerajaan Kediri memiliki tatanan yang baik dan makmur, terutama saat masa kejayaan Jayabaya.

Kasta yang Tidak Kaku: Berbeda dengan beberapa kerajaan Hindu lainnya yang mengikuti sistem kasta secara ketat, bukti sejarah, khususnya dari Kitab Lubdaka yang ditulis oleh Mpu Tanakung (pada masa Kameswara), menunjukkan bahwa status seseorang tidak dinilai dari keturunan atau posisi sosial, tetapi dari perilaku dan tindakan mereka. Ini menunjukkan adanya kesempatan untuk mengubah status sosial dengan lebih bebas dibandingkan dengan sistem kasta di India.

Kondisi Ekonomi Masyarakat: Catatan dari Cina oleh Chou Ku-fei (1178 M), yang merupakan seorang pejabat dari dinasti Song, menggambarkan Kediri sebagai negara yang sejahtera. Penduduknya terlihat mengenakan pakaian yang baik (kain yang panjang hingga lutut, dan rambut terurai), serta rumah-rumah yang bersih dan teratur. Ini menunjukkan perhatian pemerintah akan kesejahteraan rakyat.

Peraturan yang Ketat: Kediri mempunyai sistem hukum yang jelas. Ada dua jenis hukuman yang utama: denda (dalam bentuk emas) dan hukuman mati (untuk pencuri dan perampok). Keberadaan polisi juga menunjukkan penegakan hukum yang baik.

Struktur Sosial Umum: Meskipun terdapat keseragaman, tetap ada berbagai golongan dalam masyarakat, seperti:

Golongan Petani (Setempat): Berisi pejabat atau pegawai pemerintahan di daerah.

Golongan Non-Pemerintah: Wirausahawan atau masyarakat biasa yang tidak terlibat dalam pemerintahan.

 

2. Ekonomi yang Berkembang Pesat

Ekonomi Kerajaan Kediri sangat kokoh, diperkuat oleh sektor pertanian dan perdagangan.

Pertanian yang Produktif: Dengan letak Kediri di lembah Sungai Brantas yang subur, pertanian, terutama padi, menjadi sektor dominan. Ketersediaan makanan yang melimpah memicu kemakmuran.

Perdagangan Laut: Meskipun berada di dalam pulau, Sungai Brantas merupakan jalur penting yang menghubungkan Kediri dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, menjadikannya pusat perdagangan antara wilayah barat dan timur Nusantara. Barang-barang dagangan yang cukup dicari antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, rempah-rempah, serta hasil alam lainnya.

Sistem Uang: Ekonomi Kediri telah menggunakan uang emas sebagai alat transaksi. Ini menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi dan kerumitan dalam sistem perdagangan yang ada.

Kewajiban Pajak: Masyarakat diharuskan membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian, seperti beras dan palawija, yang menjadi salah satu sumber pendanaan kerajaan.

 

3. Perkembangan Sastra yang Menonjol

Masa Kediri menjadi era kejayaan sastra Jawa Kuno, terutama selama pemerintahan Raja Jayabaya dan Kameswara. Karya sastra pada periode ini tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, filosofi, dan kondisi sosial budaya masyarakat.

 

Penyesuaian Epos dari India: Para sastrawan Kediri mampu mengadaptasi kisah-kisah besar dari India (Mahabharata dan Ramayana) dengan konteks Jawa, menciptakan karya-karya asli dengan nuansa lokal.

Filosofi Hidup: Buku-buku seperti Lubdaka tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajarkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh asal-usul atau status, melainkan oleh tindakan yang dilakukan. Ini menunjukkan kedalaman pemikiran filosofis.

Kisah Panji: Di masa Raja Kameswara, Kisah Panji mulai diperkenalkan. Cerita-cerita Panji, yang menggambarkan petualangan pangeran-pangeran Jawa dalam mencari cinta dan melawan kejahatan, menjadi sangat terkenal dan menyebar di seluruh Asia Tenggara. Kitab Smaradahana (karya Mpu Dharmaja) sering dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi bagi kisah Panji.

 

4. Hubungan dengan Kerajaan Lain dan Politik Eksternal

Walaupun Kediri terutama berfokus pada penguatan kekuasaan di wilayah Jawa Timur, kerajaan ini juga menjalin relasi dengan kerajaan-kerajaan lain.

Keterkaitan Keluarga dengan Bali: Raja Airlangga, yang membagi wilayah kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri), memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan Kerajaan Bali. Ibu beliau, Mahendradatta, merupakan anak dari Dinasti Warmadewa yang berkuasa di Bali. Hal ini menciptakan ikatan keluarga yang bertahan lama.

Kepemimpinan Terhadap Jenggala: Setelah Airlangga membagi kerajaannya, kedekatan antara Kediri dan Jenggala menjadi sangat kompetitif. Di bawah pemerintahan Jayabaya, Kediri berhasil menguasai Jenggala, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan eksistensinya sebagai kerajaan.

Pengaruh yang Melampaui Jawa: Catatan dari Chou Ku-fei yang menuliskan Kediri sebagai pusat perdagangan bagi kapal dari luar, serta klaim Jayabaya terhadap wilayah Kalimantan dan Ternate, menggambarkan kehadiran pengaruh maritim dan ekonomi Kediri yang meluas di luar pulau Jawa.

 

5. Pengaruh Ramalan Jayabaya (Jangka Jayabaya)

Jangka Jayabaya merupakan salah satu elemen paling menarik dari Kerajaan Kediri yang masih relevan hingga sekarang di kalangan masyarakat Jawa.

Prediksi di Masa Depan: Jangka Jayabaya adalah sekumpulan ramalan mengenai masa depan Jawa dan Indonesia, yang mencakup kedatangan penjajah, era kemerdekaan, serta berbagai kejadian sosial dan politik.

Nilai Spiritual dan Budaya: Meskipun keaslian tulisan ini sebagai karya Jayabaya masih menjadi bahan debat di antara para sejarawan, Jangka Jayabaya memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Ini sering dipakai sebagai pedoman atau cara memahami peristiwa yang terjadi.

 

Dengan kemajuan dalam sastra, ekonomi yang subur, dan sistem sosial yang cukup fleksibel, Kerajaan Kediri adalah salah satu puncak peradaban Hindu-Buddha di Jawa yang memberikan sumbangsih besar dalam pembentukan identitas budaya Nusantara.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya

 Kerajaan Sriwijaya termasuk dalam kerajaan Buddha maritim yang paling besar dan mempengaruhi sepanjang sejarah Nusantara. Terletak di Pulau Sumatra, kerajaan ini berkembang dari abad ketujuh hingga ke-13 Masehi, menguasai rute perdagangan di Selat Malaka dan sekitarnya, serta menjadi pusat penyebaran agama Buddha Mahayana yang sangat berarti di Asia Tenggara.

 

I. Asal Usul dan Pendirian

Tempat dan Masa Awal: Diantara para sejarawan, lokasi tepat kerajaan Sriwijaya masih diperdebatkan. Namun, melalui penemuan prasasti dan dokumen dari luar, diperkirakan pusat awalnya berada di sekitar Palembang, Sumatra Selatan, di tepian Sungai Musi. Kerajaan ini mulai berkembang dengan pesat sekitar pertengahan abad ketujuh Masehi.

Informasi tentang Sriwijaya mayoritas berasal dari:

Prasasti-prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa seperti Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talang Tuwo (684 M), Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur (686 M), dan Prasasti Karang Brahi. Prasasti ini banyak ditemukan di bagian selatan Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya.

Catatan dari Luar: Khususnya catatan oleh biksu Buddha Tiongkok I-Tsing (abad ketujuh Masehi) yang mengunjungi Sriwijaya dua kali (671 M dan 695 M) dan menyebutkan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan agama Buddha. Catatan dari Arab dan India juga memberikan informasi mengenai kemakmuran dan kekuatan maritimnya.

 

II. Masa Emas dan Perluasan (Abad ke-7 hingga ke-11 M)

Era kejayaan Sriwijaya dimulai segera setelah didirikan dan berlangsung berabad-abad, menjadikannya kekuatan utama di wilayah itu.

Raja-Raja Penting:

Dapunta Hyang Sri Jayanasa: Raja yang pertama kali disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M). Ia memimpin misi militer untuk memperluas wilayah Sriwijaya, termasuk menaklukkan daerah di sekitarnya. Prasasti Talang Tuwo (684 M) juga mencatat pembentukan taman sriksetra yang diciptakannya.

Para raja berikutnya meneruskan ekspansi dan memperkuat kekuasaan Sriwijaya.

Kuasa Perdagangan: Sriwijaya mencapai keberhasilan dalam menguasai jalur-jalur perdagangan maritim yang strategis, terutama Selat Malaka dan Selat Sunda. Hal ini memberinya kontrol atas lalu lintas kapal dagang dari India ke Timur Tengah dan Tiongkok.

Sistem Pajak: Sriwijaya memungut pajak dan cukai dari kapal-kapal yang melewati wilayahnya, menjadi sumber kekayaan utama.

Barang Dagangan: Berbagai barang diperdagangkan melalui Sriwijaya, termasuk rempah-rempah (lada, cengkeh), emas, perak, gading, kapur barus, gaharu, serta barang mewah dari Tiongkok (seperti sutra dan keramik) dan India.

Pusat Pembelajaran dan Penyebaran Agama Buddha:

Biksu I-Tsing: Kunjungannya ke Sriwijaya menegaskan bahwa kerajaan ini adalah pusat signifikan untuk mempelajari Buddha Mahayana. I-Tsing bahkan menyarankan para biksu Tiongkok untuk belajar di Sriwijaya sebelum pergi ke India.

Mahaguru Dharmakirti: Guru besar Buddha terkenal yang mengajar di Sriwijaya pada abad ke-11.

Banyaknya Biara dan Vihara: Terdapat banyak biara dan tempat ibadah Buddha di Sriwijaya, menarik pelajar dan biksu dari seluruh Asia.

Perluasan Wilayah: Pengaruh Sriwijaya meluas hingga:

Sebagian besar Sumatra.

Pulau-pulau sekitar Selat Malaka (seperti Bangka dan Belitung).

Sebagian Jawa Barat (dibuktikan dengan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka, yang mencatat penaklukan Jawa).

Sebagian dari Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia dan Thailand selatan).

 

III. Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Ekonomi Maritim: Ekonomi Sriwijaya sangat tergantung pada perdagangan dan pelayaran. Mereka memiliki angkatan laut yang kuat untuk menjaga jalur perdagangan dan melawan perompak.

Masyarakat Kosmopolitan: Sebagai kota dagang global, Sriwijaya memiliki masyarakat yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku dan pedagang dari negara-negara lain.

Agama Buddha: Agama Buddha Mahayana diakui sebagai agama resmi dan banyak dianut oleh keluarga bangsawan serta masyarakat umum. Sejumlah tempat ibadah Buddha didirikan.

Bahasa Melayu Kuno: Bahasa yang dipakai dalam prasasti di Sriwijaya adalah Bahasa Melayu Kuno, yang berfungsi sebagai lingua franca di kawasan maritim Asia Tenggara. Bahasa ini menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang.

Seni dan Arsitektur: Meskipun di Palembang jarang ditemukan bangunan utuh, keberadaan patung-patung Buddha dan prasasti menunjukkan adanya kemajuan dalam bidang seni ukir dan sastra.

 

IV. Masa Kemunduran dan Keruntuhan (Abad ke-11 hingga ke-13 M)

Sriwijaya mengalami kemunduran secara bertahap karena berbagai faktor dari dalam dan luar.

Serangan dari Dinasti Chola (India):

Di tahun 1025 M, armada laut dari Kerajaan Chola India yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola I menyerang Sriwijaya. Serangan ini menghancurkan beberapa pelabuhan vital dan menyebabkan penurunan dominasi Sriwijaya dalam perdagangan.

Meskipun Sriwijaya sempat bangkit dari serangan itu, serangan-serangan dari Chola terus berlangsung selama abad ke-11, semakin melemahkan kekuatan ekonomi dan maritim wilayah tersebut.

Munculnya Kekuatan Baru:

Kerajaan Melayu Jambi (Dharmasraya): Di kawasan Sumatra, Kerajaan Melayu di Jambi mulai muncul dan secara bertahap mengurangi pengaruh Sriwijaya di area pedalaman dan sungai.

Kerajaan Singasari: Pada abad ke-13, Kerajaan Singasari di Jawa Timur yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melakukan Ekspedisi Pamalayu (1275-1292 M) untuk menguasai Kerajaan Melayu di Sumatra. Meskipun tujuannya adalah Melayu (Dharmasraya), tindakan ini secara tidak langsung mengakhiri sisa-sisa kekuasaan Sriwijaya.

Kerajaan Sukhothai (Thailand): Munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Sukhothai di Semenanjung Melayu juga mengurangi pengaruh Sriwijaya di sana.

Pergeseran Jalur Perdagangan: Perubahan dalam pola perdagangan internasional dan munculnya rute baru mungkin berkontribusi terhadap penurunan pendapatan Sriwijaya.

Faktor Internal: Kemungkinan adanya pertikaian dalam negeri, perebutan kekuasaan, atau manajemen yang kurang baik juga berperan dalam melemahnya Sriwijaya.

Berakhirnya Kekuasaan: Pada akhir abad ke-13 M, setelah serangkaian serangan dan munculnya kekuatan baru, Sriwijaya tidak lagi sebagai kekuatan yang berkuasa. Daerah kekuasaannya terpecah, dan pusat-pusat perdagangan berpindah ke lokasi lain. Secara resmi, keruntuhan Sriwijaya sering dianggap dimulai dengan penaklukan Melayu (Dharmasraya) oleh Singasari, yang kemudian melanjutkan ke Majapahit.

 

V. Peninggalan Sejarah dan Warisan

Walaupun sedikit bangunan monumental yang tersisa, warisan dari Sriwijaya sangatlah signifikan:

Bahasa Melayu Kuno: Salah satu warisan terpenting Sriwijaya adalah sumbangsihnya dalam pengembangan dan penyebaran Bahasa Melayu Kuno, yang menjadi dasar bagi Bahasa Indonesia serta Bahasa Melayu saat ini.

Penyebaran Agama Buddha: Sriwijaya berperan sebagai pusat penting dalam penyebaran agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara, mempengaruhi perkembangan kultur dan spiritualitas kawasan tersebut.

Konsep Negara Maritim: Sriwijaya menunjukkan bahwa kerajaan maritim dapat meraih kekuasaan dan kemakmuran yang besar dengan mengendalikan jalur perdagangan.

Prasasti-prasasti: Meskipun bukan berupa bangunan besar, prasasti dari Sriwijaya merupakan sumber informasi yang berharga mengenai kehidupan, politik, dan agama pada masanya.

Nama "Sriwijaya": Nama ini masih menjadi lambang kejayaan maritim dan kemegahan masa lalu Indonesia.

 

Aspek Lain mengenai Kerajaan Sriwijaya

1. Sistem Pemerintahan dan Pengendalian Wilayah

Sriwijaya bukanlah sebuah kerajaan yang terpusat pada satu lokasi saja. Mereka menerapkan tipe pemerintahan yang disebut "mandala. " Dalam pendekatan mandala ini:

 

Pusat Kekuasaan (Kedatuan/Kadatuan): Sriwijaya memiliki pusat yang kuat (kemungkinan di Palembang), dikenal sebagai kedatuan. Raja (Dapunta Hyang atau Datu) memimpin dari sini.

Wilayah yang Ditaklukkan/Vassal: Daerah-daerah di bawah kekuasaan Sriwijaya tidak selalu dipimpin langsung. Sebaliknya, mereka bisa merupakan kerajaan lokal yang tetap memiliki otonomi internal, tetapi harus mengakui kekuasaan Sriwijaya, memberikan upeti, dan terlibat dalam jaringan perdagangan yang diatur oleh Sriwijaya. Ini merupakan model kekuasaan yang efisien dan dapat mengakomodasi kerajaan maritim yang luas.

Kontrol Jalur Laut: Fokus utama Sriwijaya adalah mengendalikan jalur-jalur laut strategis seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Karimata. Kontrol ini dilakukan bukan hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga dengan mendirikan pos-pos perdagangan atau menjalin kerjasama dengan penguasa lokal di sekitar jalur tersebut.

 

2. Kekuatan Laut dan Role Lingkungan Geografis

Kekuatan maritim Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan kemampuannya membangun armada laut yang kuat.

Geografi Sumatera: Pulau Sumatera didukung oleh sejumlah sungai besar yang mengalir ke selat, yang mendukung pengembangan kemampuan pelayaran. Sungai Musi di Palembang menjadi jalur penting yang menghubungkan daerah penghasil barang dengan laut.

Kapal Perang: Prasasti dari Kota Kapur dan Karang Brahi (686 M) menunjukkan adanya sumpah setia kepada raja Sriwijaya dan ancaman kutukan bagi yang berani memberontak. Ini menggambarkan keberadaan armada laut yang kuat dan pasukan darat yang menegakkan kekuasaan di berbagai wilayah. Mereka juga berkontribusi dalam mengatasi perompak di selat, menjadikan jalur perdagangan aman.

 

3. Kehidupan Keagamaan dan Pendidikan Buddha yang Mendalam

Aliran Mahayana: Sriwijaya adalah salah satu pusat utama penyebaran dan pembelajaran Buddha Mahayana, berbeda dengan aliran Theravada yang lebih umum di beberapa bagian Asia Tenggara lainnya.

Pusat Pendidikan Internasional: Catatan dari I-Tsing sangat penting karena menggambarkan Sriwijaya sebagai "tempat untuk para sarjana Buddha" atau "universitas Buddha" pada masanya. Biksu dari Tiongkok, India, dan negara lain datang untuk belajar di Sriwijaya. Dikatakan bahwa ribuan biksu dan pelajar tinggal di biara-biara di dekat ibu kota.

Peran Dharmakirti: Mahaguru Dharmakirti (hidup sekitar abad ke-11), seorang cendekiawan Buddha terkenal yang dihormati di Tibet dan Asia, diperkirakan pernah mengajar di Sriwijaya. Kehadirannya menunjukkan tingginya kualitas pendidikan Buddha di Sriwijaya.

Vajrayana/Tantrayana: Beberapa sejarawan berpendapat bahwa praktik Buddha Tantrayana mulai muncul di Sriwijaya, terlihat dari beberapa arca dan konsep keagamaan yang ditemukan setelahnya.

 

4. Bahasa Melayu Kuno dan Dampaknya

Lingua Franca: Bahasa Melayu Kuno yang digunakan dalam prasasti Sriwijaya bukan hanya sebagai bahasa resmi kerajaan, tetapi juga berfungsi sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di kalangan pedagang dari berbagai negara di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya.

Dasar Bahasa Indonesia: Peran Sriwijaya dalam penyebaran Bahasa Melayu Kuno merupakan fondasi utama bagi perkembangan Bahasa Melayu dan kemudian Bahasa Indonesia modern. Struktur dasar dan banyak kosakata Bahasa Indonesia dapat ditelusuri kembali ke Bahasa Melayu Kuno dari masa Sriwijaya.

 

5. Hubungan dengan Dinasti Sailendra dan Mataram Kuno

Ada teori yang mengaitkan Sriwijaya dengan Dinasti Sailendra, yang membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Ikatan Keluarga: Beberapa pakar berpendapat bahwa terdapat hubungan keluarga atau setidaknya kolaborasi politik antara penguasa Sriwijaya dan Dinasti Sailendra di Mataram Kuno. Prasasti Nalanda yang ada di India pada abad ke-9 menyebutkan Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sumatera/Sriwijaya) sebagai anak mantan raja dari Jawa (Dinasti Sailendra).

Perpindahan Kekuasaan: Diduga setelah kekuasaan Sailendra di Jawa melemah (mungkin karena tekanan dari Sanjaya), beberapa anggota mereka pindah ke Sriwijaya untuk memperkuat dominasi di wilayah tersebut. Ini dapat menjelaskan mengapa Sriwijaya terus berkuasa meskipun mengalami serangan dari Chola.

 

6. Teka-teki Pusat Kerajaan yang Masih Belum Dijawab

Walaupun banyak sejarawan percaya Palembang adalah pusat Sriwijaya, terdapat diskusi dan teori lain yang berkembang:

Jambi: Beberapa ahli menganggap bahwa Jambi (Muara Jambi) mungkin juga pernah menjadi pusat yang signifikan bagi Sriwijaya, terutama setelah Palembang mengalami penurunan, atau bahkan sebelum Palembang berdiri. Kompleks percandian Muara Jambi adalah situs Buddha dengan luas yang sangat besar.

Kedah/Semenanjung Melayu: Ada teori yang juga menyatakan bahwa Kedah di Semenanjung Melayu bisa jadi merupakan pusat awal dari Sriwijaya, meskipun jumlah bukti prasasti di tempat tersebut lebih sedikit dibandingkan yang ada di Palembang.

Teka-teki ini menambah pesona Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan kuno yang paling misterius sekaligus signifikan di Asia Tenggara.

mencerminkan kompleksitas dari peradaban maritim di masa lalu, yang tidak hanya mengumpulkan kekayaan melalui perdagangan, tetapi juga menyebarkan agama, bahasa, dan budaya yang membentuk identitas kawasan hingga saat ini.

Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit

Unduh sejarah lengkap kerajaan Majapahit disini! Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan yang paling besar dan kuat dalam sejarah N...