Kerajaan Sriwijaya termasuk dalam kerajaan Buddha maritim yang paling besar dan mempengaruhi sepanjang sejarah Nusantara. Terletak di Pulau Sumatra, kerajaan ini berkembang dari abad ketujuh hingga ke-13 Masehi, menguasai rute perdagangan di Selat Malaka dan sekitarnya, serta menjadi pusat penyebaran agama Buddha Mahayana yang sangat berarti di Asia Tenggara.
I. Asal Usul dan
Pendirian
Tempat dan Masa
Awal: Diantara para sejarawan, lokasi tepat kerajaan Sriwijaya masih
diperdebatkan. Namun, melalui penemuan prasasti dan dokumen dari luar,
diperkirakan pusat awalnya berada di sekitar Palembang, Sumatra Selatan, di
tepian Sungai Musi. Kerajaan ini mulai berkembang dengan pesat sekitar
pertengahan abad ketujuh Masehi.
Informasi tentang
Sriwijaya mayoritas berasal dari:
Prasasti-prasasti
dalam bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa seperti Prasasti Kedukan Bukit (682
M), Prasasti Talang Tuwo (684 M), Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur
(686 M), dan Prasasti Karang Brahi. Prasasti ini banyak ditemukan di bagian
selatan Sumatra dan pulau-pulau di sekitarnya.
Catatan dari Luar:
Khususnya catatan oleh biksu Buddha Tiongkok I-Tsing (abad ketujuh Masehi) yang
mengunjungi Sriwijaya dua kali (671 M dan 695 M) dan menyebutkan Sriwijaya
sebagai pusat pendidikan agama Buddha. Catatan dari Arab dan India juga
memberikan informasi mengenai kemakmuran dan kekuatan maritimnya.
II. Masa Emas dan
Perluasan (Abad ke-7 hingga ke-11 M)
Era kejayaan
Sriwijaya dimulai segera setelah didirikan dan berlangsung berabad-abad,
menjadikannya kekuatan utama di wilayah itu.
Raja-Raja Penting:
Dapunta Hyang Sri
Jayanasa: Raja yang pertama kali disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M).
Ia memimpin misi militer untuk memperluas wilayah Sriwijaya, termasuk
menaklukkan daerah di sekitarnya. Prasasti Talang Tuwo (684 M) juga mencatat
pembentukan taman sriksetra yang diciptakannya.
Para raja
berikutnya meneruskan ekspansi dan memperkuat kekuasaan Sriwijaya.
Kuasa
Perdagangan: Sriwijaya mencapai keberhasilan dalam
menguasai jalur-jalur perdagangan maritim yang strategis, terutama Selat Malaka
dan Selat Sunda. Hal ini memberinya kontrol atas lalu lintas kapal dagang dari
India ke Timur Tengah dan Tiongkok.
Sistem
Pajak: Sriwijaya memungut pajak dan cukai dari kapal-kapal
yang melewati wilayahnya, menjadi sumber kekayaan utama.
Barang
Dagangan: Berbagai barang diperdagangkan melalui
Sriwijaya, termasuk rempah-rempah (lada, cengkeh), emas, perak, gading, kapur
barus, gaharu, serta barang mewah dari Tiongkok (seperti sutra dan keramik) dan
India.
Pusat
Pembelajaran dan Penyebaran Agama Buddha:
Biksu I-Tsing:
Kunjungannya ke Sriwijaya menegaskan bahwa kerajaan ini adalah pusat signifikan
untuk mempelajari Buddha Mahayana. I-Tsing bahkan menyarankan para biksu
Tiongkok untuk belajar di Sriwijaya sebelum pergi ke India.
Mahaguru
Dharmakirti: Guru besar Buddha terkenal yang mengajar di Sriwijaya pada abad
ke-11.
Banyaknya Biara
dan Vihara: Terdapat banyak biara dan tempat ibadah Buddha di Sriwijaya,
menarik pelajar dan biksu dari seluruh Asia.
Perluasan Wilayah:
Pengaruh Sriwijaya meluas hingga:
Sebagian besar
Sumatra.
Pulau-pulau
sekitar Selat Malaka (seperti Bangka dan Belitung).
Sebagian Jawa
Barat (dibuktikan dengan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka, yang
mencatat penaklukan Jawa).
Sebagian dari
Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia dan Thailand selatan).
III. Kehidupan
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Ekonomi
Maritim: Ekonomi Sriwijaya sangat tergantung pada
perdagangan dan pelayaran. Mereka memiliki angkatan laut yang kuat untuk
menjaga jalur perdagangan dan melawan perompak.
Masyarakat
Kosmopolitan: Sebagai kota dagang global, Sriwijaya
memiliki masyarakat yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku dan
pedagang dari negara-negara lain.
Agama Buddha:
Agama Buddha Mahayana diakui sebagai agama resmi dan banyak dianut oleh
keluarga bangsawan serta masyarakat umum. Sejumlah tempat ibadah Buddha
didirikan.
Bahasa Melayu
Kuno: Bahasa yang dipakai dalam prasasti di Sriwijaya adalah Bahasa Melayu
Kuno, yang berfungsi sebagai lingua franca di kawasan maritim Asia Tenggara.
Bahasa ini menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang.
Seni dan
Arsitektur: Meskipun di Palembang jarang ditemukan bangunan utuh, keberadaan
patung-patung Buddha dan prasasti menunjukkan adanya kemajuan dalam bidang seni
ukir dan sastra.
IV. Masa
Kemunduran dan Keruntuhan (Abad ke-11 hingga ke-13 M)
Sriwijaya
mengalami kemunduran secara bertahap karena berbagai faktor dari dalam dan
luar.
Serangan
dari Dinasti Chola (India):
Di tahun 1025 M,
armada laut dari Kerajaan Chola India yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola I
menyerang Sriwijaya. Serangan ini menghancurkan beberapa pelabuhan vital dan
menyebabkan penurunan dominasi Sriwijaya dalam perdagangan.
Meskipun Sriwijaya
sempat bangkit dari serangan itu, serangan-serangan dari Chola terus
berlangsung selama abad ke-11, semakin melemahkan kekuatan ekonomi dan maritim
wilayah tersebut.
Munculnya
Kekuatan Baru:
Kerajaan Melayu
Jambi (Dharmasraya): Di kawasan Sumatra, Kerajaan Melayu di Jambi mulai muncul
dan secara bertahap mengurangi pengaruh Sriwijaya di area pedalaman dan sungai.
Kerajaan
Singasari: Pada abad ke-13, Kerajaan Singasari di Jawa Timur yang dipimpin oleh
Raja Kertanegara melakukan Ekspedisi Pamalayu (1275-1292 M) untuk menguasai
Kerajaan Melayu di Sumatra. Meskipun tujuannya adalah Melayu (Dharmasraya),
tindakan ini secara tidak langsung mengakhiri sisa-sisa kekuasaan Sriwijaya.
Kerajaan Sukhothai
(Thailand): Munculnya kerajaan-kerajaan baru seperti Sukhothai di Semenanjung
Melayu juga mengurangi pengaruh Sriwijaya di sana.
Pergeseran
Jalur Perdagangan: Perubahan dalam pola perdagangan
internasional dan munculnya rute baru mungkin berkontribusi terhadap penurunan
pendapatan Sriwijaya.
Faktor
Internal: Kemungkinan adanya pertikaian dalam
negeri, perebutan kekuasaan, atau manajemen yang kurang baik juga berperan
dalam melemahnya Sriwijaya.
Berakhirnya
Kekuasaan: Pada akhir abad ke-13 M, setelah serangkaian serangan dan munculnya
kekuatan baru, Sriwijaya tidak lagi sebagai kekuatan yang berkuasa. Daerah
kekuasaannya terpecah, dan pusat-pusat perdagangan berpindah ke lokasi lain.
Secara resmi, keruntuhan Sriwijaya sering dianggap dimulai dengan penaklukan
Melayu (Dharmasraya) oleh Singasari, yang kemudian melanjutkan ke Majapahit.
V. Peninggalan
Sejarah dan Warisan
Walaupun sedikit
bangunan monumental yang tersisa, warisan dari Sriwijaya sangatlah signifikan:
Bahasa
Melayu Kuno: Salah satu warisan terpenting Sriwijaya
adalah sumbangsihnya dalam pengembangan dan penyebaran Bahasa Melayu Kuno, yang
menjadi dasar bagi Bahasa Indonesia serta Bahasa Melayu saat ini.
Penyebaran
Agama Buddha: Sriwijaya berperan sebagai pusat penting
dalam penyebaran agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara, mempengaruhi
perkembangan kultur dan spiritualitas kawasan tersebut.
Konsep
Negara Maritim: Sriwijaya menunjukkan bahwa kerajaan
maritim dapat meraih kekuasaan dan kemakmuran yang besar dengan mengendalikan
jalur perdagangan.
Prasasti-prasasti:
Meskipun bukan berupa bangunan besar, prasasti dari Sriwijaya merupakan sumber
informasi yang berharga mengenai kehidupan, politik, dan agama pada masanya.
Nama
"Sriwijaya": Nama ini masih menjadi lambang kejayaan maritim dan
kemegahan masa lalu Indonesia.
Aspek Lain
mengenai Kerajaan Sriwijaya
1. Sistem
Pemerintahan dan Pengendalian Wilayah
Sriwijaya bukanlah
sebuah kerajaan yang terpusat pada satu lokasi saja. Mereka menerapkan tipe
pemerintahan yang disebut "mandala. " Dalam pendekatan mandala ini:
Pusat Kekuasaan
(Kedatuan/Kadatuan): Sriwijaya memiliki pusat yang kuat (kemungkinan di
Palembang), dikenal sebagai kedatuan. Raja (Dapunta Hyang atau Datu) memimpin
dari sini.
Wilayah yang
Ditaklukkan/Vassal: Daerah-daerah di bawah kekuasaan Sriwijaya tidak selalu
dipimpin langsung. Sebaliknya, mereka bisa merupakan kerajaan lokal yang tetap
memiliki otonomi internal, tetapi harus mengakui kekuasaan Sriwijaya,
memberikan upeti, dan terlibat dalam jaringan perdagangan yang diatur oleh
Sriwijaya. Ini merupakan model kekuasaan yang efisien dan dapat mengakomodasi
kerajaan maritim yang luas.
Kontrol Jalur
Laut: Fokus utama Sriwijaya adalah mengendalikan jalur-jalur laut strategis
seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Karimata. Kontrol ini dilakukan
bukan hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga dengan mendirikan pos-pos
perdagangan atau menjalin kerjasama dengan penguasa lokal di sekitar jalur
tersebut.
2. Kekuatan Laut
dan Role Lingkungan Geografis
Kekuatan maritim
Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan kemampuannya membangun
armada laut yang kuat.
Geografi Sumatera:
Pulau Sumatera didukung oleh sejumlah sungai besar yang mengalir ke selat, yang
mendukung pengembangan kemampuan pelayaran. Sungai Musi di Palembang menjadi
jalur penting yang menghubungkan daerah penghasil barang dengan laut.
Kapal Perang:
Prasasti dari Kota Kapur dan Karang Brahi (686 M) menunjukkan adanya sumpah
setia kepada raja Sriwijaya dan ancaman kutukan bagi yang berani memberontak.
Ini menggambarkan keberadaan armada laut yang kuat dan pasukan darat yang
menegakkan kekuasaan di berbagai wilayah. Mereka juga berkontribusi dalam
mengatasi perompak di selat, menjadikan jalur perdagangan aman.
3. Kehidupan
Keagamaan dan Pendidikan Buddha yang Mendalam
Aliran Mahayana:
Sriwijaya adalah salah satu pusat utama penyebaran dan pembelajaran Buddha
Mahayana, berbeda dengan aliran Theravada yang lebih umum di beberapa bagian
Asia Tenggara lainnya.
Pusat Pendidikan
Internasional: Catatan dari I-Tsing sangat penting karena menggambarkan
Sriwijaya sebagai "tempat untuk para sarjana Buddha" atau
"universitas Buddha" pada masanya. Biksu dari Tiongkok, India, dan
negara lain datang untuk belajar di Sriwijaya. Dikatakan bahwa ribuan biksu dan
pelajar tinggal di biara-biara di dekat ibu kota.
Peran Dharmakirti:
Mahaguru Dharmakirti (hidup sekitar abad ke-11), seorang cendekiawan Buddha
terkenal yang dihormati di Tibet dan Asia, diperkirakan pernah mengajar di
Sriwijaya. Kehadirannya menunjukkan tingginya kualitas pendidikan Buddha di
Sriwijaya.
Vajrayana/Tantrayana:
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa praktik Buddha Tantrayana mulai muncul di
Sriwijaya, terlihat dari beberapa arca dan konsep keagamaan yang ditemukan
setelahnya.
4. Bahasa Melayu
Kuno dan Dampaknya
Lingua Franca:
Bahasa Melayu Kuno yang digunakan dalam prasasti Sriwijaya bukan hanya sebagai
bahasa resmi kerajaan, tetapi juga berfungsi sebagai bahasa pergaulan (lingua
franca) di kalangan pedagang dari berbagai negara di pelabuhan-pelabuhan
Sriwijaya.
Dasar Bahasa
Indonesia: Peran Sriwijaya dalam penyebaran Bahasa Melayu Kuno merupakan fondasi
utama bagi perkembangan Bahasa Melayu dan kemudian Bahasa Indonesia modern.
Struktur dasar dan banyak kosakata Bahasa Indonesia dapat ditelusuri kembali ke
Bahasa Melayu Kuno dari masa Sriwijaya.
5. Hubungan dengan
Dinasti Sailendra dan Mataram Kuno
Ada teori yang
mengaitkan Sriwijaya dengan Dinasti Sailendra, yang membangun Candi Borobudur
di Jawa Tengah.
Ikatan Keluarga:
Beberapa pakar berpendapat bahwa terdapat hubungan keluarga atau setidaknya
kolaborasi politik antara penguasa Sriwijaya dan Dinasti Sailendra di Mataram
Kuno. Prasasti Nalanda yang ada di India pada abad ke-9 menyebutkan Raja
Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sumatera/Sriwijaya) sebagai anak mantan raja
dari Jawa (Dinasti Sailendra).
Perpindahan
Kekuasaan: Diduga setelah kekuasaan Sailendra di Jawa melemah (mungkin karena
tekanan dari Sanjaya), beberapa anggota mereka pindah ke Sriwijaya untuk
memperkuat dominasi di wilayah tersebut. Ini dapat menjelaskan mengapa
Sriwijaya terus berkuasa meskipun mengalami serangan dari Chola.
6. Teka-teki Pusat
Kerajaan yang Masih Belum Dijawab
Walaupun banyak
sejarawan percaya Palembang adalah pusat Sriwijaya, terdapat diskusi dan teori
lain yang berkembang:
Jambi: Beberapa
ahli menganggap bahwa Jambi (Muara Jambi) mungkin juga pernah menjadi pusat
yang signifikan bagi Sriwijaya, terutama setelah Palembang mengalami penurunan,
atau bahkan sebelum Palembang berdiri. Kompleks percandian Muara Jambi adalah
situs Buddha dengan luas yang sangat besar.
Kedah/Semenanjung
Melayu: Ada teori yang juga menyatakan bahwa Kedah di Semenanjung Melayu bisa
jadi merupakan pusat awal dari Sriwijaya, meskipun jumlah bukti prasasti di
tempat tersebut lebih sedikit dibandingkan yang ada di Palembang.
Teka-teki ini
menambah pesona Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan kuno yang paling
misterius sekaligus signifikan di Asia Tenggara.
mencerminkan
kompleksitas dari peradaban maritim di masa lalu, yang tidak hanya mengumpulkan
kekayaan melalui perdagangan, tetapi juga menyebarkan agama, bahasa, dan budaya
yang membentuk identitas kawasan hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar