Kamis, 19 Juni 2025

Sejarah Kerajaan Kediri

 Kerajaan Kediri, yang sering disebut juga sebagai Panjalu, merupakan salah satu kerajaan besar yang menganut ajaran Hindu-Buddha dan berada di Jawa Timur, berdiri antara tahun 1042 M dan 1222 M. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, hasil pembagian oleh Raja Airlangga. Lokasi pusat pemerintahannya terletak di kota Daha, yang saat ini berada di sekitar daerah Kota Kediri, Jawa Timur.

 

I. Awal Mula dan Pembentukan Kerajaan

Cerita mengenai Kerajaan Kediri tidak bisa lepas dari sosok Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kamulan, yang kemudian dikenal sebagai Kahuripan. Ketika masa pemerintahannya hampir berakhir, Airlangga dihadapkan pada masalah suksesi. Ia memiliki dua putra dari dua ibu berbeda yang saling berebut untuk mengambil alih tahta:

Jenggala: Dikenal sebagai wilayah yang diberikan kepada Mapanji Garasakan, dengan pusat berlokasi di Kahuripan.

Panjalu (Kediri): Diberikan kepada Sri Samarawijaya, yang memiliki pusat di Daha.

Pembagian kerajaan ini terjadi pada tahun 1042 M, agar dapat menghindari terjadinya perang saudara. Kejadian pemisahan ini tercatat dalam prasasti yang bernama Prasasti Terep (1032 Saka/1110 Masehi) dari zaman Kerajaan Kediri. Namun, upaya untuk mencegah konflik yang dilakukan oleh Airlangga tidak sepenuhnya berhasil.

 

II. Permulaan dan Konflik Saudara

Setelah pemisahan, terjadi persaingan yang berkelanjutan antara Jenggala dan Panjalu (Kediri). Pada masa ini, kedua kerajaan saling bertarung untuk mendapatkan dominasi satu sama lain.

Raja Pertama Kediri (Panjalu): Sri Samarawijaya (1042-1051 M). Banyak catatan prasasti dari masa pemerintahannya minim, dan ada yang menyebutkan sebagai "masa kegelapan" karena kurangnya bukti.

Pertikaian Tanpa Henti: Konflik antara Panjalu dan Jenggala berlangsung selama beberapa dekade. Prasasti Banjaran (1052 M) mencatat hasil kemenangan Panjalu atas Jenggala di bawah pemerintahan Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes, raja kedua Kediri.

Persatuan Kembali: Persaingan ini berakhir saat pemerintahan Sri Bameswara (1117-1135 M), yang mana Kediri berhasil menyatukan kembali sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Airlangga setelah mengalahkan Jenggala.

 

III. Masa Keemasan di Bawah Raja Jayabaya

Kerajaan Kediri mengalami kejayaan tertingginya pada masa pemerintahann Sri Jayabaya (1135-1159 M). Ia dikenal sebagai raja tersohor dalam sejarah Jawa.

Kemenangan Terhadap Jenggala: Jayabaya sukses mengakhiri konflik dengan Jenggala dan memperkuat posisi Kediri di Jawa Timur. Kemenangan ini dituangkan dalam Kakawin Bharatayudha, sebuah epik besar karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh selama masa pemerintahannya. Karya ini mengadaptasi kisah Mahabharata dengan latar belakang pertempuran antara Jenggala dan Kediri.

Ekspansi Wilayah Kekuasaan: Di bawah Jayabaya, daerah kekuasaan Kediri meluas hingga ke sebagian Kalimantan dan bahkan mengejarsampai ke Kerajaan Ternate di Maluku, menunjukkan kekuatan maritim yang besar.

Sistem Administrasi dan Hukum yang Baik: Jayabaya dikenal sebagai pemimpin yang bijak, menerapkan tata kelola yang teratur serta hukum yang adil. Hal ini memberikan kontribusi kepada kesejahteraan dan stabilitas kerajaan.

Perkembangan Sastra yang Pesat: Masa pemerintahan Jayabaya adalah zaman keemasan bagi sastra di Kediri. Selain Kakawin Bharatayudha, karya sastra lain yang dikenal antara lain Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh.

Ramalan Jangka Jayabaya: Jayabaya juga terkenal dengan ramalannya mengenai masa depan Nusantara yang dikenal dengan Jangka Jayabaya. Ramalan ini masih tetap populer dan diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa hingga sekarang.

Bukti dari Catatan Asing: Karya Chou Ku-fei yang ditulis pada tahun 1178 M mengidentifikasi Kediri sebagai daerah yang makmur. Warganya dikenal memakai pakaian sutra, sepatu kulit, serta perhiasan emas, dan raja mereka dihormati.

 

IV. Raja-Raja Setelah Jayabaya Hingga Keruntuhan

Setelah masa Jayabaya, Kediri dipimpin oleh sejumlah raja yang berusaha untuk menjaga kejayaan, tetapi pada akhirnya mengalami kemunduran.

Sri Sarweswara (1159-1169 M)

Sri Aryeswara (1169-1180 M)

Sri Gandra (1180-1182 M)

Sri Kameswara (1182-1194 M): Selama pemerintahannya, karya sastra terus berkembang, termasuk karya Kitab Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang menggambarkan kisah cinta antara Dewa Kama dan Dewi Rati. Buku ini menjadi fondasi untuk cerita Panji yang terkenal.

Sri Kertajaya (1194-1222 M): Merupakan raja terakhir dari Kediri.

 

V. Keruntuhan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri jatuh pada pemerintahan Raja Kertajaya pada tahun 1222 M. Penyebab utama keruntuhan ini adalah konflik internal yang memuncak dan dieksploitasi oleh kekuatan luar.

Konflik dengan Kaum Brahmana: Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana dan juga ingin diakui sebagai dewa. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan dan perlawanan dari Brahmana yang merasa direndahkan.

Permohonan Bantuan kepada Ken Arok: Brahmana akhirnya mencari perlindungan serta bantuan dari Ken Arok, akuwu Tumapel yang merupakan wilayah bawah Kediri. Ken Arok melihat ini sebagai peluang untuk membebaskan diri dari Kediri dan membangun kerajaan sendiri.

Pertempuran Ganter (1222 M): Ken Arok menyerang Kediri dengan dukungan Brahmana dan pasukannya. Pertempuran hebat terjadi di Ganter, di mana Ken Arok keluar sebagai pemenang. Raja Kertajaya menemui ajalnya dalam pertempuran tersebut.

Berdirinya Singasari: Kemenangan Ken Arok di Ganter menandakan akhir dari Kerajaan Kediri dan awal berdirinya Kerajaan Singasari di bawah pimpinan Ken Arok. Jayasabha, putra Kertajaya, diangkat sebagai bupati Kediri yang bernaung di bawah Singasari.

 

VI. Peninggalan Sejarah

Kerajaan Kediri meninggalkan banyak warisan berharga, terutama prasasti dan karya sastra:

Prasasti:

Prasasti Sirah Keting (1104 M): Menceritakan tentang Raja Jayawarsa yang memberikan tanah kepada rakyatnya.

Prasasti Ngantang (1135 M): Berisi keputusan Raja Jayabaya tentang pembebasan pajak tanah untuk Desa Ngantang sebagai bentuk penghargaan.

Prasasti Jaring (1181 M): Mengandung informasi tentang Raja Gandra dan nama-nama pejabat yang memiliki gelar berdasarkan nama hewan.

Prasasti Kamulan (1194 M): Menceritakan serangan dari arah timur (Singasari) serta menunjukkan adanya wilayah Trenggalek.

Prasasti Talan (1136 M): Mengenai anugerah sima yang diberikan kepada Desa Talan oleh Raja Jayabaya.

Karya Sastra:

Kakawin Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh): Mengisahkan tentang konflik antara Jenggala dan Panjalu (Kediri).

Kakawin Hariwangsa (Mpu Panuluh): Menggambarkan kisah Krisna beserta Rukmini.

Kakawin Gatotkacasraya (Mpu Panuluh): Menceritakan kisah Gatotkaca.

Kitab Smaradahana (Mpu Dharmaja): Berkisar pada cinta Dewa Kama dan Dewi Rati.

Kitab Lubdaka (Mpu Tanakung): Mengisahkan pemburu bernama Lubdaka.

Candi (Reruntuhan): Terdapat beberapa candi yang diduga berasal dari periode Kediri, seperti Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan Candi Dorok, meskipun banyak di antaranya sudah tidak utuh.

 

Kerajaan Kediri menjadi simbol kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Jawa Timur, dengan warisannya dalam pemerintahan, hukum, dan yang lebih penting lagi, dalam sastra, tetap relevan dalam studi sejarah dan budaya Indonesia.

Tentu, mari kita eksplor lebih lanjut beberapa elemen penting lainnya dari Kerajaan Kediri, memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang peradaban yang pernah terkenal di Jawa Timur ini.

 

Aspek Lain tentang Kerajaan Kediri

1. Kehidupan Sosial dan Struktur Masyarakat

Masyarakat di Kerajaan Kediri memiliki tatanan yang baik dan makmur, terutama saat masa kejayaan Jayabaya.

Kasta yang Tidak Kaku: Berbeda dengan beberapa kerajaan Hindu lainnya yang mengikuti sistem kasta secara ketat, bukti sejarah, khususnya dari Kitab Lubdaka yang ditulis oleh Mpu Tanakung (pada masa Kameswara), menunjukkan bahwa status seseorang tidak dinilai dari keturunan atau posisi sosial, tetapi dari perilaku dan tindakan mereka. Ini menunjukkan adanya kesempatan untuk mengubah status sosial dengan lebih bebas dibandingkan dengan sistem kasta di India.

Kondisi Ekonomi Masyarakat: Catatan dari Cina oleh Chou Ku-fei (1178 M), yang merupakan seorang pejabat dari dinasti Song, menggambarkan Kediri sebagai negara yang sejahtera. Penduduknya terlihat mengenakan pakaian yang baik (kain yang panjang hingga lutut, dan rambut terurai), serta rumah-rumah yang bersih dan teratur. Ini menunjukkan perhatian pemerintah akan kesejahteraan rakyat.

Peraturan yang Ketat: Kediri mempunyai sistem hukum yang jelas. Ada dua jenis hukuman yang utama: denda (dalam bentuk emas) dan hukuman mati (untuk pencuri dan perampok). Keberadaan polisi juga menunjukkan penegakan hukum yang baik.

Struktur Sosial Umum: Meskipun terdapat keseragaman, tetap ada berbagai golongan dalam masyarakat, seperti:

Golongan Petani (Setempat): Berisi pejabat atau pegawai pemerintahan di daerah.

Golongan Non-Pemerintah: Wirausahawan atau masyarakat biasa yang tidak terlibat dalam pemerintahan.

 

2. Ekonomi yang Berkembang Pesat

Ekonomi Kerajaan Kediri sangat kokoh, diperkuat oleh sektor pertanian dan perdagangan.

Pertanian yang Produktif: Dengan letak Kediri di lembah Sungai Brantas yang subur, pertanian, terutama padi, menjadi sektor dominan. Ketersediaan makanan yang melimpah memicu kemakmuran.

Perdagangan Laut: Meskipun berada di dalam pulau, Sungai Brantas merupakan jalur penting yang menghubungkan Kediri dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, menjadikannya pusat perdagangan antara wilayah barat dan timur Nusantara. Barang-barang dagangan yang cukup dicari antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, rempah-rempah, serta hasil alam lainnya.

Sistem Uang: Ekonomi Kediri telah menggunakan uang emas sebagai alat transaksi. Ini menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi dan kerumitan dalam sistem perdagangan yang ada.

Kewajiban Pajak: Masyarakat diharuskan membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian, seperti beras dan palawija, yang menjadi salah satu sumber pendanaan kerajaan.

 

3. Perkembangan Sastra yang Menonjol

Masa Kediri menjadi era kejayaan sastra Jawa Kuno, terutama selama pemerintahan Raja Jayabaya dan Kameswara. Karya sastra pada periode ini tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, filosofi, dan kondisi sosial budaya masyarakat.

 

Penyesuaian Epos dari India: Para sastrawan Kediri mampu mengadaptasi kisah-kisah besar dari India (Mahabharata dan Ramayana) dengan konteks Jawa, menciptakan karya-karya asli dengan nuansa lokal.

Filosofi Hidup: Buku-buku seperti Lubdaka tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajarkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh asal-usul atau status, melainkan oleh tindakan yang dilakukan. Ini menunjukkan kedalaman pemikiran filosofis.

Kisah Panji: Di masa Raja Kameswara, Kisah Panji mulai diperkenalkan. Cerita-cerita Panji, yang menggambarkan petualangan pangeran-pangeran Jawa dalam mencari cinta dan melawan kejahatan, menjadi sangat terkenal dan menyebar di seluruh Asia Tenggara. Kitab Smaradahana (karya Mpu Dharmaja) sering dianggap sebagai salah satu sumber inspirasi bagi kisah Panji.

 

4. Hubungan dengan Kerajaan Lain dan Politik Eksternal

Walaupun Kediri terutama berfokus pada penguatan kekuasaan di wilayah Jawa Timur, kerajaan ini juga menjalin relasi dengan kerajaan-kerajaan lain.

Keterkaitan Keluarga dengan Bali: Raja Airlangga, yang membagi wilayah kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri), memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan Kerajaan Bali. Ibu beliau, Mahendradatta, merupakan anak dari Dinasti Warmadewa yang berkuasa di Bali. Hal ini menciptakan ikatan keluarga yang bertahan lama.

Kepemimpinan Terhadap Jenggala: Setelah Airlangga membagi kerajaannya, kedekatan antara Kediri dan Jenggala menjadi sangat kompetitif. Di bawah pemerintahan Jayabaya, Kediri berhasil menguasai Jenggala, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan eksistensinya sebagai kerajaan.

Pengaruh yang Melampaui Jawa: Catatan dari Chou Ku-fei yang menuliskan Kediri sebagai pusat perdagangan bagi kapal dari luar, serta klaim Jayabaya terhadap wilayah Kalimantan dan Ternate, menggambarkan kehadiran pengaruh maritim dan ekonomi Kediri yang meluas di luar pulau Jawa.

 

5. Pengaruh Ramalan Jayabaya (Jangka Jayabaya)

Jangka Jayabaya merupakan salah satu elemen paling menarik dari Kerajaan Kediri yang masih relevan hingga sekarang di kalangan masyarakat Jawa.

Prediksi di Masa Depan: Jangka Jayabaya adalah sekumpulan ramalan mengenai masa depan Jawa dan Indonesia, yang mencakup kedatangan penjajah, era kemerdekaan, serta berbagai kejadian sosial dan politik.

Nilai Spiritual dan Budaya: Meskipun keaslian tulisan ini sebagai karya Jayabaya masih menjadi bahan debat di antara para sejarawan, Jangka Jayabaya memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Ini sering dipakai sebagai pedoman atau cara memahami peristiwa yang terjadi.

 

Dengan kemajuan dalam sastra, ekonomi yang subur, dan sistem sosial yang cukup fleksibel, Kerajaan Kediri adalah salah satu puncak peradaban Hindu-Buddha di Jawa yang memberikan sumbangsih besar dalam pembentukan identitas budaya Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit

Unduh sejarah lengkap kerajaan Majapahit disini! Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan yang paling besar dan kuat dalam sejarah N...