Kerajaan Kediri, yang sering disebut juga sebagai Panjalu, merupakan salah satu kerajaan besar yang menganut ajaran Hindu-Buddha dan berada di Jawa Timur, berdiri antara tahun 1042 M dan 1222 M. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, hasil pembagian oleh Raja Airlangga. Lokasi pusat pemerintahannya terletak di kota Daha, yang saat ini berada di sekitar daerah Kota Kediri, Jawa Timur.
I. Awal Mula dan
Pembentukan Kerajaan
Cerita mengenai
Kerajaan Kediri tidak bisa lepas dari sosok Raja Airlangga dari Kerajaan Medang
Kamulan, yang kemudian dikenal sebagai Kahuripan. Ketika masa pemerintahannya
hampir berakhir, Airlangga dihadapkan pada masalah suksesi. Ia memiliki dua
putra dari dua ibu berbeda yang saling berebut untuk mengambil alih tahta:
Jenggala: Dikenal
sebagai wilayah yang diberikan kepada Mapanji Garasakan, dengan pusat berlokasi
di Kahuripan.
Panjalu (Kediri):
Diberikan kepada Sri Samarawijaya, yang memiliki pusat di Daha.
Pembagian kerajaan
ini terjadi pada tahun 1042 M, agar dapat menghindari terjadinya perang
saudara. Kejadian pemisahan ini tercatat dalam prasasti yang bernama Prasasti
Terep (1032 Saka/1110 Masehi) dari zaman Kerajaan Kediri. Namun, upaya untuk
mencegah konflik yang dilakukan oleh Airlangga tidak sepenuhnya berhasil.
II. Permulaan dan
Konflik Saudara
Setelah pemisahan,
terjadi persaingan yang berkelanjutan antara Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Pada masa ini, kedua kerajaan saling bertarung untuk mendapatkan dominasi satu
sama lain.
Raja Pertama
Kediri (Panjalu): Sri Samarawijaya (1042-1051 M). Banyak catatan prasasti dari
masa pemerintahannya minim, dan ada yang menyebutkan sebagai "masa
kegelapan" karena kurangnya bukti.
Pertikaian Tanpa
Henti: Konflik antara Panjalu dan Jenggala berlangsung selama beberapa dekade.
Prasasti Banjaran (1052 M) mencatat hasil kemenangan Panjalu atas Jenggala di
bawah pemerintahan Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes, raja kedua Kediri.
Persatuan Kembali:
Persaingan ini berakhir saat pemerintahan Sri Bameswara (1117-1135 M), yang
mana Kediri berhasil menyatukan kembali sebagian besar wilayah bekas Kerajaan
Airlangga setelah mengalahkan Jenggala.
III. Masa Keemasan
di Bawah Raja Jayabaya
Kerajaan Kediri
mengalami kejayaan tertingginya pada masa pemerintahann Sri Jayabaya (1135-1159
M). Ia dikenal sebagai raja tersohor dalam sejarah Jawa.
Kemenangan
Terhadap Jenggala: Jayabaya sukses mengakhiri konflik dengan Jenggala dan
memperkuat posisi Kediri di Jawa Timur. Kemenangan ini dituangkan dalam Kakawin
Bharatayudha, sebuah epik besar karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh selama masa
pemerintahannya. Karya ini mengadaptasi kisah Mahabharata dengan latar belakang
pertempuran antara Jenggala dan Kediri.
Ekspansi Wilayah
Kekuasaan: Di bawah Jayabaya, daerah kekuasaan Kediri meluas hingga ke sebagian
Kalimantan dan bahkan mengejarsampai ke Kerajaan Ternate di Maluku, menunjukkan
kekuatan maritim yang besar.
Sistem
Administrasi dan Hukum yang Baik: Jayabaya dikenal sebagai pemimpin yang bijak,
menerapkan tata kelola yang teratur serta hukum yang adil. Hal ini memberikan
kontribusi kepada kesejahteraan dan stabilitas kerajaan.
Perkembangan
Sastra yang Pesat: Masa pemerintahan Jayabaya adalah zaman keemasan bagi sastra
di Kediri. Selain Kakawin Bharatayudha, karya sastra lain yang dikenal antara
lain Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh.
Ramalan Jangka
Jayabaya: Jayabaya juga terkenal dengan ramalannya mengenai masa depan Nusantara
yang dikenal dengan Jangka Jayabaya. Ramalan ini masih tetap populer dan
diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa hingga sekarang.
Bukti dari Catatan
Asing: Karya Chou Ku-fei yang ditulis pada tahun 1178 M mengidentifikasi Kediri
sebagai daerah yang makmur. Warganya dikenal memakai pakaian sutra, sepatu
kulit, serta perhiasan emas, dan raja mereka dihormati.
IV. Raja-Raja
Setelah Jayabaya Hingga Keruntuhan
Setelah masa
Jayabaya, Kediri dipimpin oleh sejumlah raja yang berusaha untuk menjaga
kejayaan, tetapi pada akhirnya mengalami kemunduran.
Sri Sarweswara
(1159-1169 M)
Sri Aryeswara
(1169-1180 M)
Sri Gandra
(1180-1182 M)
Sri Kameswara
(1182-1194 M): Selama pemerintahannya, karya sastra terus berkembang, termasuk
karya Kitab Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang menggambarkan kisah cinta
antara Dewa Kama dan Dewi Rati. Buku ini menjadi fondasi untuk cerita Panji
yang terkenal.
Sri Kertajaya
(1194-1222 M): Merupakan raja terakhir dari Kediri.
V. Keruntuhan
Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri
jatuh pada pemerintahan Raja Kertajaya pada tahun 1222 M. Penyebab utama
keruntuhan ini adalah konflik internal yang memuncak dan dieksploitasi oleh
kekuatan luar.
Konflik
dengan Kaum Brahmana: Kertajaya ingin mengurangi hak-hak
kaum Brahmana dan juga ingin diakui sebagai dewa. Hal ini menyebabkan
ketidakpuasan dan perlawanan dari Brahmana yang merasa direndahkan.
Permohonan
Bantuan kepada Ken Arok: Brahmana akhirnya
mencari perlindungan serta bantuan dari Ken Arok, akuwu Tumapel yang merupakan
wilayah bawah Kediri. Ken Arok melihat ini sebagai peluang untuk membebaskan
diri dari Kediri dan membangun kerajaan sendiri.
Pertempuran
Ganter (1222 M): Ken Arok menyerang Kediri dengan dukungan
Brahmana dan pasukannya. Pertempuran hebat terjadi di Ganter, di mana Ken Arok
keluar sebagai pemenang. Raja Kertajaya menemui ajalnya dalam pertempuran
tersebut.
Berdirinya
Singasari: Kemenangan Ken Arok di Ganter menandakan
akhir dari Kerajaan Kediri dan awal berdirinya Kerajaan Singasari di bawah
pimpinan Ken Arok. Jayasabha, putra Kertajaya, diangkat sebagai bupati Kediri
yang bernaung di bawah Singasari.
VI. Peninggalan
Sejarah
Kerajaan Kediri
meninggalkan banyak warisan berharga, terutama prasasti dan karya sastra:
Prasasti:
Prasasti Sirah
Keting (1104 M): Menceritakan tentang Raja Jayawarsa yang memberikan tanah
kepada rakyatnya.
Prasasti Ngantang
(1135 M): Berisi keputusan Raja Jayabaya tentang pembebasan pajak tanah untuk
Desa Ngantang sebagai bentuk penghargaan.
Prasasti Jaring
(1181 M): Mengandung informasi tentang Raja Gandra dan nama-nama pejabat yang
memiliki gelar berdasarkan nama hewan.
Prasasti Kamulan
(1194 M): Menceritakan serangan dari arah timur (Singasari) serta menunjukkan
adanya wilayah Trenggalek.
Prasasti Talan
(1136 M): Mengenai anugerah sima yang diberikan kepada Desa Talan oleh Raja
Jayabaya.
Karya
Sastra:
Kakawin
Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh): Mengisahkan tentang konflik antara
Jenggala dan Panjalu (Kediri).
Kakawin Hariwangsa
(Mpu Panuluh): Menggambarkan kisah Krisna beserta Rukmini.
Kakawin
Gatotkacasraya (Mpu Panuluh): Menceritakan kisah Gatotkaca.
Kitab Smaradahana
(Mpu Dharmaja): Berkisar pada cinta Dewa Kama dan Dewi Rati.
Kitab Lubdaka (Mpu
Tanakung): Mengisahkan pemburu bernama Lubdaka.
Candi
(Reruntuhan): Terdapat beberapa candi yang diduga berasal dari periode Kediri,
seperti Candi Gurah, Candi Tondowongso, dan Candi Dorok, meskipun banyak di
antaranya sudah tidak utuh.
Kerajaan Kediri
menjadi simbol kejayaan peradaban Hindu-Buddha di Jawa Timur, dengan warisannya
dalam pemerintahan, hukum, dan yang lebih penting lagi, dalam sastra, tetap
relevan dalam studi sejarah dan budaya Indonesia.
Tentu, mari kita
eksplor lebih lanjut beberapa elemen penting lainnya dari Kerajaan Kediri,
memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang peradaban yang pernah terkenal
di Jawa Timur ini.
Aspek Lain tentang
Kerajaan Kediri
1. Kehidupan
Sosial dan Struktur Masyarakat
Masyarakat di Kerajaan
Kediri memiliki tatanan yang baik dan makmur, terutama saat masa kejayaan
Jayabaya.
Kasta
yang Tidak Kaku: Berbeda dengan beberapa kerajaan Hindu
lainnya yang mengikuti sistem kasta secara ketat, bukti sejarah, khususnya dari
Kitab Lubdaka yang ditulis oleh Mpu Tanakung (pada masa Kameswara), menunjukkan
bahwa status seseorang tidak dinilai dari keturunan atau posisi sosial, tetapi
dari perilaku dan tindakan mereka. Ini menunjukkan adanya kesempatan untuk
mengubah status sosial dengan lebih bebas dibandingkan dengan sistem kasta di
India.
Kondisi
Ekonomi Masyarakat: Catatan dari Cina oleh Chou Ku-fei
(1178 M), yang merupakan seorang pejabat dari dinasti Song, menggambarkan
Kediri sebagai negara yang sejahtera. Penduduknya terlihat mengenakan pakaian
yang baik (kain yang panjang hingga lutut, dan rambut terurai), serta
rumah-rumah yang bersih dan teratur. Ini menunjukkan perhatian pemerintah akan
kesejahteraan rakyat.
Peraturan
yang Ketat: Kediri mempunyai sistem hukum yang jelas.
Ada dua jenis hukuman yang utama: denda (dalam bentuk emas) dan hukuman mati
(untuk pencuri dan perampok). Keberadaan polisi juga menunjukkan penegakan
hukum yang baik.
Struktur
Sosial Umum: Meskipun terdapat keseragaman, tetap ada
berbagai golongan dalam masyarakat, seperti:
Golongan
Petani (Setempat): Berisi pejabat atau pegawai
pemerintahan di daerah.
Golongan
Non-Pemerintah: Wirausahawan atau masyarakat biasa yang
tidak terlibat dalam pemerintahan.
2. Ekonomi yang
Berkembang Pesat
Ekonomi Kerajaan
Kediri sangat kokoh, diperkuat oleh sektor pertanian dan perdagangan.
Pertanian yang
Produktif: Dengan letak Kediri di lembah Sungai Brantas yang subur, pertanian,
terutama padi, menjadi sektor dominan. Ketersediaan makanan yang melimpah memicu
kemakmuran.
Perdagangan Laut:
Meskipun berada di dalam pulau, Sungai Brantas merupakan jalur penting yang
menghubungkan Kediri dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa,
menjadikannya pusat perdagangan antara wilayah barat dan timur Nusantara.
Barang-barang dagangan yang cukup dicari antara lain emas, perak, gading, kayu
cendana, rempah-rempah, serta hasil alam lainnya.
Sistem Uang:
Ekonomi Kediri telah menggunakan uang emas sebagai alat transaksi. Ini
menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi dan kerumitan dalam sistem perdagangan
yang ada.
Kewajiban Pajak:
Masyarakat diharuskan membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian, seperti
beras dan palawija, yang menjadi salah satu sumber pendanaan kerajaan.
3. Perkembangan
Sastra yang Menonjol
Masa Kediri
menjadi era kejayaan sastra Jawa Kuno, terutama selama pemerintahan Raja
Jayabaya dan Kameswara. Karya sastra pada periode ini tidak hanya untuk
hiburan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, filosofi, dan kondisi sosial
budaya masyarakat.
Penyesuaian Epos
dari India: Para sastrawan Kediri mampu mengadaptasi kisah-kisah besar dari
India (Mahabharata dan Ramayana) dengan konteks Jawa, menciptakan karya-karya
asli dengan nuansa lokal.
Filosofi Hidup:
Buku-buku seperti Lubdaka tidak hanya bercerita, tetapi juga mengajarkan bahwa
martabat manusia tidak ditentukan oleh asal-usul atau status, melainkan oleh
tindakan yang dilakukan. Ini menunjukkan kedalaman pemikiran filosofis.
Kisah Panji: Di
masa Raja Kameswara, Kisah Panji mulai diperkenalkan. Cerita-cerita Panji, yang
menggambarkan petualangan pangeran-pangeran Jawa dalam mencari cinta dan
melawan kejahatan, menjadi sangat terkenal dan menyebar di seluruh Asia
Tenggara. Kitab Smaradahana (karya Mpu Dharmaja) sering dianggap sebagai salah
satu sumber inspirasi bagi kisah Panji.
4. Hubungan dengan
Kerajaan Lain dan Politik Eksternal
Walaupun Kediri
terutama berfokus pada penguatan kekuasaan di wilayah Jawa Timur, kerajaan ini
juga menjalin relasi dengan kerajaan-kerajaan lain.
Keterkaitan
Keluarga dengan Bali: Raja Airlangga, yang membagi wilayah kerajaannya menjadi
Jenggala dan Panjalu (Kediri), memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan
Kerajaan Bali. Ibu beliau, Mahendradatta, merupakan anak dari Dinasti Warmadewa
yang berkuasa di Bali. Hal ini menciptakan ikatan keluarga yang bertahan lama.
Kepemimpinan
Terhadap Jenggala: Setelah Airlangga membagi kerajaannya, kedekatan antara
Kediri dan Jenggala menjadi sangat kompetitif. Di bawah pemerintahan Jayabaya,
Kediri berhasil menguasai Jenggala, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan
eksistensinya sebagai kerajaan.
Pengaruh yang
Melampaui Jawa: Catatan dari Chou Ku-fei yang menuliskan Kediri sebagai pusat
perdagangan bagi kapal dari luar, serta klaim Jayabaya terhadap wilayah
Kalimantan dan Ternate, menggambarkan kehadiran pengaruh maritim dan ekonomi
Kediri yang meluas di luar pulau Jawa.
5. Pengaruh
Ramalan Jayabaya (Jangka Jayabaya)
Jangka Jayabaya
merupakan salah satu elemen paling menarik dari Kerajaan Kediri yang masih
relevan hingga sekarang di kalangan masyarakat Jawa.
Prediksi di Masa
Depan: Jangka Jayabaya adalah sekumpulan ramalan mengenai masa depan Jawa dan
Indonesia, yang mencakup kedatangan penjajah, era kemerdekaan, serta berbagai
kejadian sosial dan politik.
Nilai Spiritual
dan Budaya: Meskipun keaslian tulisan ini sebagai karya Jayabaya masih menjadi
bahan debat di antara para sejarawan, Jangka Jayabaya memiliki makna spiritual
dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Ini sering dipakai sebagai
pedoman atau cara memahami peristiwa yang terjadi.
Dengan kemajuan
dalam sastra, ekonomi yang subur, dan sistem sosial yang cukup fleksibel,
Kerajaan Kediri adalah salah satu puncak peradaban Hindu-Buddha di Jawa yang
memberikan sumbangsih besar dalam pembentukan identitas budaya Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar